WELL COME

HIDUP ADALAH IBADAH UNTUK BEKAL AKHIRAT

Sabtu, 16 Januari 2010

Materi Dakwah

MERAIH SURGA DENGAN BIRRUL WALIDAIN

Allah subhanahu wata’ala berfirman, Artinya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Ali Imron: 133)
Dan dalam ayat lain berfirman, artinya, “Dan untuk yang demikin itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. al-Muthaffifin: 26)
Dan dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat, Artinya, “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. ash-Shaffat: 61)
Dalam ketiga ayat ini Allah subhanahu wata’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlomba-lomba dan bersegera dalam mendapatkan Jannah (surga) Nya,
Ada beberapa jalan untuk meraih Jannah, dan di antara jalan-jalan itu adalah Birrul Walidain (ta’at kepada orang tua). Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang itu. Bahkan dalam beberapa ayat, Allah subhanahu wata’ala merangkaikan ketaatan kepada orang tua dengan beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,…” (QS. an-Nisa: 36)
Dan juga Dia subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra: 23)
Diulang-ulangnya ayat yang menerangkan berbuat baik kepada orang tua, dan dirangkaikannya ketaatan kepada keduanya dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala menunjukkan tentang keutamaan ‘Birrul Walidain’ (berbakti kepada orang tua). Hal ini juga didukung dengan beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan tentang keutamaan ‘Birrul Walidain’, di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik? “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bapakmu”. (HR. Bukhori kitab al-Adab & Muslim kitab al-Birr wa ash-Shilah)
Dan dalam hadits lain disebutkan, artinya, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta ijin kepadanya untuk ikut berjihad. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berjihadlah (dengan berbakti) pada keduanya.” (HR Bukhori kitab al-Adab & Muslim kitab al-Birr wa ash-Shilah)
Keutamaan ‘Birrul Walidain’ yang lain adalah bahwa hal itu merupakan sifat para Nabi’alaihimussalam. Allah subhanahu wata’ala mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam firman-Nya, artinya, “Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 47). Juga pujian Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, artinya, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku sebagai seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32 )
Itulah sirah dan sikap para Nabi ‘alaihimussalam kepada orang tua mereka, dan jalan mereka itulah jalan yang lurus/ shirathal mustaqim, yang selalu kita minta dalam setiap shalat kita. Dan inilah salah satu jalan untuk meraih surga. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa berbuat baik kepada keduanya bukan berarti kita harus melaksanakan semua perintah mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman:15)
Sa’ad bin Waqqoshradhiyallahu ‘anhuberkata, “Diturunkan ayat ini (QS. Luqman: 15) berkaitan dengan masalahku. Dia berkata, “Aku adalah seorang yang berbakti kepada ibuku, maka tatkala aku masuk Islam, dia berkata, “Wahai Sa’ad apa yang aku lihat dengan apa yang baru darimu?” “Tinggalkan agama barumu itu kalau tidak, aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati sehingga kamu dicela dengan sebab kematianku dan kau akan dipanggil dengan wahai pembunuh ibunya”. Maka aku katakan kepadanya, “Jangan kau lakukan wahai ibuku, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk siapa saja”. Maka dia (ibu Sa’ad) diam, tidak makan selama sehari semalam, maka dia kelihatan sudah payah. Kemudian dia tidak makan sehari semalam lagi, maka kelihatan semakin payah. Maka tatkala aku melihatnya aku berkata kepadanya, “Hendaklah kau tahu wahai ibuku, seandainya kau memiliki seratus nyawa, dan nyawa itu melayang satu demi satu, maka tidak akan aku tigggalkan agama ini karena apapun juga, maka kalau kau mau makan makanlah , kalau tidak maka jangan makan”. Lantas diapun makan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah subhanahu wata’ala menyediakan balasan/ pahala yang besar bagi siapa yang taat pada orang tuanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR Tirmidzi kitab al-Birr wa ash-Shilah, dishahihkan oleh al-Albany). Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah perbuatan yang paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iman kepada Allah dan RasulNya”. “Kemudian apalagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Berbuat baik kepada Orang tua.” Kemudian apalagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari kitab al-Hajj dan Muslim bab Bayan kaunil iman billah min afdhailil a’mal)
Dan pahala yang besar ini tidak mudah diperoleh kecuali dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada orang tua kita. Ada beberapa kewajiban kita terhadap orang tua, di antaranya:
Yang pertama: Berbuat baik kepada keduanya baik dengan perkataan atau perbuatan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, Artinya, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS: al-Qur’an-Isro: 23)
Yang kedua: Rendah hati terhadap keduanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, Artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan”. (QS: al-Isro: 24)
Yang ketiga: Mendoakan keduanya baik semasa hidupnya ataupun sesudah meninggalnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, Artinya, “Dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS: al-Isro: 24)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila anak Adam mati maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim kitab al-Washiyyah)
Yang Keempat: Mentaati keduanya dalam kebaikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, Artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu , maka janganlah kamu mengikuti keduanya , dan pergaulilah keduanya dengan baik”. (QS: Luqman: 15)
Yang Kelima: Memintakan ampun bagi keduanya sesudah meninggal, yaitu apabila meninggal dalam keadaan Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman menceritakan tentang nabi Ibrahim ’alaihissalam Artinya, “Ya Tuhan kami beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab/ kiamat”. (QS Ibrohim: 41)Juga firman-Nya tentang Nabi Nuh ’alaihissalam, Artinya, “Ya Tuhanku ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS: Nuh: 28)
Yang Keenam: Melunasi hutangnya dan melaksanakan wasiatnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan ucapan seorang wanita yang berpendapat hutang ibunya wajib dilunasi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan bahwa hutang kepada Allah subhanahu wata’ala berupa shaum nadzar lebih berhak untuk dilunasi.
Yang Ketujuh: Menyambung tali kekerabatan mereka berdua, seperti: Paman dan bibi dari kedua belah pihak, kakek dan nenek dari kedua belah pihak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik hubungan/ silaturahim adalah hubungan/ silaturohim seorang anak dengan teman dekat bapaknya.” (HR. Muslim kitab al-Qur’an-birr wash shilah).
Yang Kedelapan: Memuliakan teman-teman mereka berdua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan teman-teman istrinya tercinta Khadijah radhiyallahu ‘anha, maka kita muliakan pula teman-teman istri kita. Dan teman-teman orang tua kita lebih berhak kita muliakan, karena di dalamnya ada penghormatan kepada orang tua kita.
Semoga Allah subhanahu wata’ala tidak menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mendapati masa tua orang tuanya, namun kita tidak bisa berbuat baik kepadanya, karena berbakti kepada keduanya adalah salah satu jalan untuk meraih surga.

Tiga Pondasi Umat

dakwatuna.com - “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (An-Nahl: 90).
Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa dijadikan ayat penutup yang dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya. Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah Allah dalam ayat ini tidak ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya “Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang lain, tetapi cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan sebagainya. Karena secara fithrah memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang diperintahkan dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini. Bahkan dengan tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini- Abdullah bin Mas’ud ra sampai menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam Al-Qur’an tentang kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus dicegah.
Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang menembus ke dalam hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini, bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Ketika Rasulullah saw sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan. Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat, beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat, “Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang Rasul Allah”. Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah menjawab, “Benar”. Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”. Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90″.
Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un lantas membacakan ayat ini kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut dibacakan kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan semua orang, termasuk para pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat ini.
Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang ditawarkan oleh Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah masyarakat, yaitu prinsip keadilan, prinsip ihsan dan prinsip takaful yang dicontohkan dalam skala mikro dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak Al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah tersebar di tengah-tengahnya perbuatan keji dengan segala warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan senantiasa berada dalam kesengsaraan.
Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan semua hamba-hambaNya agar menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku adil dan anjuran untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara adil dan ihsan adalah bahwa keadilan merupakan sebuah kewajiban syariat, sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil. Karenanya berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang sangat dianjurkan.
Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya. Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam ayat-ayatNya. Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)
Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya dengan pendekatan ijtima’i yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan menjadi penenang bagi setiap individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata Ihsan lebih luas penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.
Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan “Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah Al-Adl dan Al-Ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dzim (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai ta’kid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari wilayah yang paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.
Betapa paksi keadilan, ihsan dan takaful dalam struktur bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Allahu a’lam


Iman Kepada Hari Akhir


dakwatuna.com - Kehidupan manusia terbagi menjadi dua: kehidupan pendek di Darul ‘Amal dan kehidupan abadi di Darul Jaza.
Darul ‘Amal (tempat beramal) adalah bumi atau dunia yang kita tempati sekarang ini sampai batas waktu tertentu yang amat singkat. Dunia adalah tempat dan waktu yang diberikan kepada kita untuk melakukan amal yang kita kehendaki seperti orang-orang sebelum kita yang juga telah mengalaminya. Allah swt. berfirman:
“Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun akantetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 44-45)
Setiap lewat sehari, kesempatan hidup pun berkurang dan kita semakin dekat dengan Darul Jaza (negeri balasan). Dan bila kesempatan itu benar-benar habis, hidup di dunia ini terasa kurang dari sesaat. Allah swt berfirman:
“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.” (Yunus: 45)
Sedangkan yang dimaksud dengan Darul Jaza adalah negeri akhirat, tempat manusia mendapatkan balasan semua perbuatannya di Darul Amal. Dan maut adalah titik perpindahan dari Darul Amal ke Darul Jaza. Allah swt. berfirman:
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmu-lah kamu akan dikembalikan.’ Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): ‘Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.’” (As-Sajadah: 11-12)
“Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: ‘Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-Rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?’ Mereka menjawab: ‘Benar (telah datang).’ Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. Dikatakan (kepada mereka): ‘Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya.’ Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.’ Dan mereka mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki; maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.’ Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’” (Az-Zumar: 70-75)
Hari Akhir adalah Bukti Keadilan Ilahi
Iman seorang mukmin kepada hari akhir punya dalil yang kuat. Dalil yang utama adalah informasi semua Rasul, tanpa kecuali, tentang hakikat hari akhir yang mereka terima dari Allah swt. Para Rasul adalah orang-orang yang telah menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kebenaran risalah mereka. Namun disamping itu ada juga dalil-dalil aqli (logika).
Ada banyak dalil aqli. Tapi, salah satunya adalah dalil logika keadilan Ilahi.
Dalam diri manusia ada perasaan cinta kepada keadilan. Ini perasaan yang membuat manusia membenci kezaliman. Pencipta perasaan cinta keadilan dalam diri manusia ini adalah Allah swt., Pencipta manusia, dan merupakan aksioma bahwa Sang Pencipta lebih agung dan lebih sempurna dari ciptaan-Nya, dan bagi Allah segala perumpamaan yang sempurna.
Jadi, keadilan Allah swt. jelas Maha Sempurna, sedangkan makhluknya tidak. Jika rasa keadilan dalam diri manusia menolak perlakuan sama antara orang zalim dan yang terzalimi, antara pembunuh dengan korban terbunuh, orang yang taat dengan yang membangkang, maka keadilan Ilahi yang sempurna tentunya lebih menolak penyamaan antara si zalim dengan yang dizalimi, antara pembunuh dan terbunuh, antara yang taat dan yang melakukan maksiat, antara mukmin dengan kafir, dan antara orang baik dan orang jahat. Allah swt. berfirman:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 27-28)
Namun kita tidak mendapati keadilan sempurna di dunia. Belum ada balasan yang setimpal atas semua perbuatan manusia yang baik maupun buruk. Dengan logika keadilan Ilahi yang tak mungkin diragukan, kita beriman bahwa penghitungan dan balasan amal yang seadil-adilnya itu akan kita temui di hari akhir sebagaimana diinformasikan oleh semua Rasul a.s.
Kesimpulan
Kehidupan manusia terbagi dua: kehidupan singkat di Darul Amal dan kehidupan abadi di Darul Jaza,

BERFIKIR KREATIF MEMBINA PRIBADI SUKSES

MUSTAFA AL-RAFI’IE menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).Bagi pemuda, realitas kehidupan yang dihadapinya sering kali dipersepsikan sebagai kenyataan yang membatasi idealisme dan hasrat yang mendominasi pikirannya. Sehingga perlu disadari bahwa kedewasaan merupakan tahap kehidupan yang pasti dijalaninya. Bila pada tahap muda dapat dicapai afeks pertumbuhan fisikis, maka dalam tahap dewasa terjadi kematangan pertumbuhan psikik.Berpikir KreatifBerbicara kreativitas, kita tidak akan terlepas dari fungsi otak manusia. Para ahli jiwa mengatakan, otak manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri merupakan pusat fungsi intelektual seperti daya ingat, bahasa, logika perhitungan, daya analisis, dan pemikiran konvergen (cara berpikir searah). Dan otak kanan berfungsi mengandalkan mental dengan melibatkan intuisi, sikap, emosi, gambar, musik dan irama, gerak dan tari, serta pikiran divergen (menyebar/bercabang).Namun, menurut Yogy RY (Remaja Kreatif Hindari Penggangguran; 2000), disebutkan kenyataannya kebanyakan orang cenderung hanya menggunakan otak kiri jika menghadapi persoalan. Padahal, jika diseimbangkan dengan memfungsikan otak kanan, orang akan berpikir lebih jernih dalam memecahkan persoalan.Untuk itu, bagi yang mampu berpikir benar (berpikir dengan otak kiri dan kanan), maka mereka (baca: pemuda) sudah punya pola berpikir kreatif. Karenanya ia sanggup memelihara suatu virus dalam dirinya yang dinamakan N-ach (virus mental yang sanggup mengkondisikan manusia selalu dalam keadaan kreatif).Kreativitas sendiri merupakan suatu bidang kajian yang sulit. Menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Definisi kreativitas menurut Dedi Supriadi (Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek; 1994), digolongkan menjadi definisi secara konsensual dan konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli.Sedangkan definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada kriteria tertentu. Amabile (1983: 33), secara konseptual melukiskan bahwa suatu produk dinilai kreatif apabila: (a) produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya.Jadi, unsur idealisme dan kreativitas ini dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang menjadi salah satu kunci sukses seseorang. Dan orang sukses bukan berarti tanpa mengalami kegagalan. Kalah-menang akan silih berganti. Tapi, di sinilah justru letak perbedaan antara orang berjiwa besar (dewasa) dan berjiwa biasa (tidak dewasa).Bagi orang yang dewasa, kekalahan yang dialaminya akan dimanfaatkan sebagai pendorong untuk lebih maju. Tapi bagi orang yang tidak dewasa, setiap kekalahan yang dialaminya, akan dianggap sebagai halangan untuk mencapai tujuan. Thamrin Nasution (1980), menyebutkan timbulnya kekalahan adalah disebabkan kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai masalah yang dihadapi itu. Dan hal ini akan dapat diatasi dengan memperdalam pengetahuan tentang masalahnya.Membina Pribadi SuksesDalam pandangan Islam, bahwa ‘manusia’ itu yang menjadi pokok utama. Pribadi merupakan faktor konstitusi moral dan bertanggung jawab atasnya. Faktor pribadi juga adalah menjadi titik tolak pendidikan diri sendiri. Dan bertujuan kembali kepada pribadi pula. Dengan kata lain, mengenal dan mendidik pribadi sendiri artinya mengawali kesadaran sebagai makhluk ciptaan, yang harus tahu diri kepada Dzat Tertinggi yang menciptakannya. Sehingga dapat dikatakan, dengan mengenal diri sendiri secara keseluruhan, maka kita mengenal Allah Yang Maha Pencipta.Untuk mewujudkan hal itu, maka dalam melakukan pembinaan pribadi ini, perlu adanya faktor agama sebagai landasan dalam menjaga keseimbangan eksistensi insan secara otentik. Cara terbaik dalam mengembangkannya ialah dengan senantiasa berpatokan pada “Takhallaquu Bi Akhlaqillaah” (berakhlaqlah dengan akhlaq Allah).Konsepsi tersebut bermaksud menuntun orang untuk mengenal dan menyesuaikan penerapan nilai rendah dan nilai tinggi seorang pribadi dalam hidup yang selaras dengan kehendak Allah di dalam mewujudkan ciptaan-Nya. Janganlah kita sebagai hamba hendak berlaku sombong terhadap Allah dengan tidak mentaati perintah dan larangan-Nya, sedang sebagai makhluk yang seharusnya mengatur dan menundukan alam ini, malahan kita meredusir harga diri dan merendahkan nilai pribadi sebagai “raja makhluk.” (S. Qamarulhadi; 1986: 220).Berawal dari pembinaan pribadi dengan berpatokan pada akhlaq Allah, kemudian yang perlu ditata pada pribadi kita dengan tekun agar mencapai pribadi sukses ialah harus memiliki iman dan ilmu. Dua syarat ini adalah mutlak, seperti dinyatakan dalam Alquran surat Al-Mujaadilah: 11, yang artinya: “…. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan mereka yang telah diberi ilmu, beberapa tingkat …..”Buah dari pribadi yang bermodalkan iman dan ilmu itu, tidak hanya berbentuk materi saja, tapi juga adalah sukses rohani, duniawi dan ukhrawi. Hal ini, tentu didasarkan bahwa iman itu dasar mental, ilmu dasar pikir. Dalam hal ini, M. Ridwan IR Lubis (1985) menuliskan bahwa untuk kesuksesan hati dan otak diperlukan ketekunan. Dari sifat tekun akan menyorot hati dan otak kita. Adapun untuk membangun dan mengembangkan suatu pekerjaan dengan tekun, maka diperlukan empat sikap mental. (1) Kerjakan menurut kemampuan. Segala sesuatu haruslah dikerjakan menurut kemampuan kita, jangan kerjakan sesuatu diluar kemampuan kita. Karena hasil yang didapat akan tidak sesuai dengan yang diharapkan.(2) Mengutamakan yang penting. Setelah kita dapat mengerjakan sesuatu, maka hendaklah kita terlebih dahulu melakukan penyortiran. Pekerjaan mana yang harus didahulukan. Maka lakukan penilaian terlebih dahulu terhadap pekerjaan tersebut. Mana yang penting, perlu dan berguna.(3) Tetapkan pendirian. Anda jangan mudah diombang-ambingkan oleh orang lain, sehingga membuat rencana menjadi buyar. Anda harus tetapkan pendirian untuk mencapai apa yang anda cita-citakan.(4) Jangan berputus asa. Tidak ada sesuatu yang terjadi pada diri kita adalah merupakan kekejaman Allah. Misalnya, kalau kita mendapati pekerjaan yang belum berhasil, maka kita harus bersabar. Karena kita harus yakin bahwa segala sesuatunya Allah sajalah yang amat mengetahui rahasia alam ini, termasuk rahasia dari ketidakberhasilan apa yang kita rencanakan. Jadi, kita tidak boleh berputus asa.Akhirnya, kita harus sadar betul bahwa esensi kehidupan ini terletak pada pembentukan semangat dan cita-cita untuk memelihara dan menegakan kepribadian, sehingga kehidupan memperoleh daya mengembang dari dirinya sendiri beberapa alas kekuatan, seperti: memori intelektif, kecerdasan, keahlian, keteguhan hati, keikhlasan yang banyak membantu mengasimilasi kebiasaan dan perilaku kita.Orang baik itu ialah orang yang selalu mencari jalan keluarnya setiap kali mendapat masalah. Bukannya menciptakan masalah dan kita sendiri yang menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Sedangkan sukses itu hakekatnya adalah bagaimana setiap hari,BERSIKAP LEMBUT & RENDAH HATI
فَبِمَا رَحْمَةٍمِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّاغَلِيظَ الْقَلبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka. ..”(QS.:3:159)
Ikhwan dan akhwat fillah, sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim” (QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.
Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata - menurut mereka - disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.
Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan. Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u, ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.
Banyak murabbi yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.
Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri, ada dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati. Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan rnaupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan. Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan syadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, pendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.
Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan / mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur/menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui / dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah berfirman dalam surat Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.” Bila Rasulullah saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Qur’an dan Hadist.
Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan kita memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendah hatian ternyata lebih melanggengkan / mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk memujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas. Kita mesti melatih kerendah hatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.
ادْعُ إِلَى سِبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah mereka kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ” (QS 16:125) waktu, saat, selalu berusaha memperbaiki diri dan menambah ilmu untuk menuju keridhoan Allah. Sehingga memiliki pandangan terhadap diri sendiri begitu penting bagi seseorang yang ingin mengelola diri menjadi sukses dalam hidup ini. Patut kita renungkan pernyataan yang menyebutkan, “Sukses tidak identik dengan posisi atau gelar dunia, tetapi seberapa besar Personal Vision (pandangan Pribadi) yang dimiliki seseorang.” Wallahu’alam.***
Sedangkan kematian adalah titik perpindahan antara keduanya. Siapa yang beramal shalih di dunia, Allah swt. akan membalasnya dengan ganjaran pahala. Barangsiapa berbuat buruk, Allah swt. mengancamnya dengan hukuman setimpal. Allah swt. juga mengutus para Rasul kepada manusia, dan mereka telah membuktikan kebenaran pengakuan kerasulan mereka lalu menyampaikan wahyu Allah yang diantaranya berisi keimanan kepada hari akhir dan apa yang terjadi di sana.
Keadilan Allah swt. Maha Sempurna, dan konsekuensinya adalah perlakuan yang tidak sama antara yang jahat dan yang baik. Di dunia ini ganjaran untuk orang yang baik belum sempurna, begitu pula hukuman bagi orang jahat. Oleh karenanya Allah swt. menjadikan hari akhir untuk menyempurnakan penghargaan kepada orang-orang yang telah berbuat baik dan mengadili serta menghukum orang-orang yang ingkar kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar